Hari Kesaktian Pancasila 2021

Hari Kesaktian Pancasila
Monumen Pancasila Sakti

Halo sobat FOSCA, kalian tahu ga sih tanggal 1 oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila? Di hari sebelumnya, Tanggal 30 September PKI melancarkan sebuah gerakan pemberontakan yang dikenal G30S/PKI dan menculik serta membantai 7 Jenderal. 

Kenapa PKI melakukan hal tersebut? Apakah kita masih boleh membahas dan menonton film dokudrama G30S/PKI? ingin tahu lebih banyak? Yuk simak penjelasan berikut!!

Sejarah Hari Kesaktian Pancasila

Hari Kesaktian Pancasila yang dirayakan setiap tanggal 1 Oktober memiliki sejarah dan keterkaitan tersendiri dengan peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965.

Tragedi tersebut bermula dari adanya penculikan enam jenderal dan 1 kapten yang dilakukan oleh oknum oknum yang saat itu dikatakan ingin melakukan kudeta terhadap Pemerintahan. Kalangan Akademisi tidak bisa mengatakan secara pasti siapa yang melakukan rencana pembunuhan tersebut namun pemerintahan kala itu dan masyarakat menyebarkan berita bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) yang melakukan kudeta tersebut. Pemerintah Orde Baru saat itu menetapkan tanggal 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Mengapa Ada Hari Kesaktian Pancasila

Perlu diketahui, Hari Kesaktian Pancasila dan Hari Lahir Pancasila berbeda.

Hari Lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni yang merupakan awal mula Pancasila sebagai lambang negara sedangkan Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Oktober.

Hari Kesaktian Pancasila berkaitan dengan peristiwa G30S yang terjadi pada 30 September 1965. Peristiwa G30S/PKI ini bertujuan untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Namun, pemberontakan berhasil dihentikan karena bersatu dan kerjasamanya banyak pihak. Pihak-pihak bersatu menjunjung nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan akhirnya pada 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Kronologi G30S 

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan tragedi nasional yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dan menimbulkan korban di kalangan petinggi militer. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh persaingan politik, karena PKI sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk. Berbagai kebijakan yang diusulkan PKI diterima dan diterapkan seperti: mempersenjatakan Angkatan V (Buruh Tani) untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia, serta pembubaran Masyumi karena dianggap bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Permesta. Pada awal Agustus 1965, ketika Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato, banyak pihak yang beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi. Sehingga muncul pertanyaan besar yakni, Siapa pengganti Presiden Soekarno nantinya? Pertanyaan tersebut yang menyebabkan persaingan semakin tajam antara PKI dengan TNI.

Peristiwa pemberontakan ini terjadi selama kurang lebih dua hari dimulai dari tanggal 30 September 1965 hingga 1 Oktober (Hari Eksekusi). Gerakan ini dipimpin oleh Letkol Untung dari Komando Batalyon 1 Resimen Tjakrabirawa dan Lettu Dul Arief sebagai Ketua Pelaksana Penculikan. Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, enam Jenderal menjadi korban penculikkan dan pembunuhan yakni Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. R. Soeprapto, Mayjen. Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan dan Brigjen Sutoyo dan satu perwira yakni Lettu Pierre Tendean. Keseluruhannya dimasukan kedalam lubang di kawasan Pondok Gede, Jakarta. Namun ada satu Jenderal yang berhasil selamat dari operasi penculikan yaitu Jenderal A.H. Nasution walaupun Ia harus kehilangan ajudannya Lettu Pierre Tendean dan anaknya Ade Irma Suryani. Korban lain dari peristiwa ini adalah, Brigadir Polisi K.S. Tubun. Gerakan ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Letkol. Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini. Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia. Dan mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit no.1, yakni pernyataan bahwa gerakan G30S adalah upaya penyelamatan negara dari Dewan Jenderal yang ingin mengambil alih negara.

Lubang Pahlawan Revolusi
Lubang Pahlawan Revolusi
Sumber: https://jakarta.suara.com/ 

Kebingungan melanda masyarakat Indonesia, sehingga Mayjen Soeharto menugaskan kepada Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk merebut kembali gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi, tugas tersebut selesai dalam waktu singkat dan tanpa pertumpahan darah. Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada jam 20.00 WIB Soeharto mengumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh gerakan 30 September, beliau juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat.

Operasi penumpasan berlanjut ke kawasan Halim Perdanakusuma pada 2 Oktober 1965, tempat pasukan G30S mengundurkan diri dari kawasan Monas Kawasan. Pada tanggal yang sama atas petunjuk Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari penculikan PKI, pasukan pemerintah menemukan lokasi Jenazah para perwira di lubang sumur tua, di atasnya ditanami pohon pisang di kawasan yang dekat juga dengan Halim yakni Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan Jenazah tersebut dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Para perwira yang gugur akibat pemberontakan ini diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.

Operasi penumpasan berlanjut dengan menangkap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab pada peristiwa itu. Pada 9 Oktober 1965, Kolonel A. Latief berhasil ditangkap di Jakarta. Pada 11 Oktober 1965, Letkol Untung pemimpin dewan revolusi berhasil ditangkap di Tegal ketika ingin melarikan diri ke Jawa Tengah. Selain itu para petinggi PKI seperti D.N Aidit, Sudisman, Sjam dll juga ditangkap oleh TNI pada 22 November 1965. Selanjutnya Pada 14 Februari 1966 beberapa tokoh PKI dibawa ke hadapan sidang Mahkamah Luar Biasa (Mahmilub). Desakan rakyat semakin ramai menuntut agar PKI dibubarkan, puncaknya pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto langsung mengeluarkan larangan terhadap PKI dan ormas-ormas di bawahnya.

Daftar Pahlawan Revolusi dalam G30S 1965

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta telah menyebabkan kematian 7 perwira TNI-AD, yang 6 diantaranya merupakan perwira tinggi alias jenderal yang kala itu cukup berpengaruh dalam pemerintahan RI di bawah pimpinan Presiden Sukarno.

Adapun 1 orang perwira lainnya adalah Kapten Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Jenderal A.H. Nasution disebut-sebut menjadi target seperti ke-6 jenderal lainnya. Tak hanya itu, ada korban meninggal dunia lainnya yaitu Ade Irma Suryani, putri Jenderal Nasution.

Selain itu, Bripka Karel Sadsuit Tubun yang merupakan pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena turut pula menjadi korban dalam peristiwa berdarah ini.

Berikut ini para pahlawan revolusi dalam peristiwa G30S 1965 di Jakarta:

  1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi)
  3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen)
  5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD Bidang Logistik)
  6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD)
  7. Lettu CZI Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution)
  8. Bripka Karel Sadsuit Tubun (Pengawal Kediaman Resmi dr.J. Leimena)

Film G30S/PKI 

Untuk mengingat dan menjadikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia, dibuatlah sebuah film tentang Gerakan 30 September PKI. Film ini diberi judul ‘Penumpasan Pengkhianatan G 30 S  PKI berdurasi 271 menit dan disutradarai oleh Arifin C Noer. Penayangan film ini dimulai dari tahun 1984 di bioskop. Saat itu banyak yang menonton sebagai gambaran peristiwa kelam dari sejarah pengkhianatan di Indonesia. Sejak itu, Menteri Pendidikan era Presiden Soeharto itu menjadi tontonan wajib tiap tanggal 30 September dan disiarkan ulang oleh TVRI hingga 1998. Per tanggal 24 September 1998, film itu tak diputar ulang karena sejumlah alasan. 

Menurut Marsekal Udara Saleh Basarah pada tahun 1998, Film ini terlalu menyudutkan perwira AURI dan ia merasa keberatan untuk hal ini. Dan menurut Juwono, Mantan Menteri Pendidikan zaman reformasi juga meminta para ahli untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran yang memuat peristiwa penting. Karena informasi yang diterima siswa kurang berimbang karena sangat kuat menambah legitimasi Soeharto sebagai orang yang menumpas PKI sampai ke akar-akarnya, hal ini menurut beberapa orang sangat berlebihan. Dimulai dari bioskop, kemudian masuk TVRI pada 1985, lalu sempat dihentikan tahun 1998. Setelah itu penayangannya hanya dari layar lebar yang ada di lapangan terbuka lalu akhir-akhir ini film ini sudah mulai masuk ke televisi lagi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top