Perlindungan Satwa dan Tumbuhan Liar dengan CITES

CITES

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam adalah perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. ITES adalah satu-satunya perjanjian global yang fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terancam dari perdagangan yang menyebabkan spesimen tumbuhan dan satwa liar tersebut terancam. Keikutsertaan suatu negara dalam CITES adalah sukarela dan negara-negara yang terikat dengan konvensi disebut para pihak. Sampai dengan bulan Agustus 2006, telah ada 169 negara yang menjadi para pihak dalam CITES.

Konvensi bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Selain itu, CITES menetapkan berbagai tingkatan proteksi untuk lebih dari 33.000 spesies terancam. Tidak ada satu pun spesies terancam dalam perlindungan CITES yang menjadi punah sejak CITES diberlakukan tahun 1975 Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES dengan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978.

Naskah konvensi disepakati 3 Maret 1973 pada pertemuan para wakil 80 negara di Washington, D.C.. Negara peserta diberi waktu hingga 31 Desember 1974 untuk menandatangani kesepakatan, dan CITES mulai berlaku tanggal 1 Juli 1975. Setelah melakukan ratifikasi, menerima, atau menyetujui konvensi, negara-negara yang menandatangani konvensi disebut para pihak (parties). Pada tahun 2003, semua negara penanda tangan CITES telah menjadi para pihak. Negara yang belum menandatangani dapat ikut serta menjadi para pihak dengan menyetujui CITES. Di bulan Agustus 2006 tercatat sejumlah 169 negara telah menjadi para pihak dalam CITES.

Dalam konvensi CITES didapatkan apendiks CITES yang dibagi menjadi tiga tingkatan apendiks. Spesies yang diusulkan masuk dalam apendiks CITES dibahas dalam Konferensi Para Pihak (COP), yang konferensi berikutnya diadakan bulan Juni 2007. Para pihak bisa mengusulkan suatu spesies walaupun habitat spesies tersebut tidak berada dalam wilayah negara pengusul. Usulan bisa disetujui masuk dalam apendiks CITES asalkan didukung suara mayoritas 2/3 dari para pihak, walaupun ada para pihak yang berkeberatan. Apendiks CITES berisi sekitar 5.000 spesies satwa dan 28.000 spesies tumbuhan yang dilindungi dari eksploitasi berlebihan melalui perdagangan internasional. Spesies terancam dikelompokkan ke dalam apendiks CITES berdasarkan tingkat ancaman dari perdagangan internasional, dan tindakan yang perlu diambil terhadap perdagangan tersebut. Dalam apendiks CITES, satu spesies bisa saja terdaftar di lebih dari satu kategori.

CITES terdiri dari tiga apendiks:

  • Apendiks I: daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional
  • Apendiks II: daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan
  • Apendiks III: daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I.

Apendiks I – sekitar 800 spesies

Spesies yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa).

Satwa yang dimasukkan ke dalam Apendiks I, misalnya gorila, simpanse, harimau dan subspesiesnya, singa Asia, macan tutul, jaguar cheetah, gajah Asia, beberapa populasi gajah Afrika, dan semua spesies Badak (kecuali beberapa subspesies di Afrika Selatan), orang utan, penyu belimbing, komodo, babi rusa, kingkong.

Apendiks II – sekitar 32.500 spesies

Spesies dalam Apendiks II tidak segera terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar dan perdagangan terus berlanjut. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.

Apendiks III – sekitar 300 spesies

Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO).

Indonesia telah kehilangan beberapa spesies karena kepunahan, seperti harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris Balica). Sebelum spesies-spesies tersebut punah, Indonesia pernah memiliki 3 sub-spesies harimau, yaitu:

  1. Harimau Bali (Panthera tigris Balica (Schwarz, 1912)). Harimau Bali terakhir ditembak pada tahun 1925. Kemudian spesies ini dinyatakan punah pada tanggal 27 September 1937;
  2. Harimau Jawa (Panthera tigris Sondaica (Temminck, 1844)). Pada tahun 1950-an diperkirakan harimau Jawa tinggal tersisa 25-an ekor. Kemudian tahun 1980-an harimau Jawa dinyatakan punah. Saat ini sesekali dilaporkan terlihat di hutan-hutan di pegunungan di pulau Jawa, namun belum keberadaannya masih belum dapat diverifikasi.
  3. Harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrae (Temminck, 1844)). Diperkirakan saat ini populasinya hanya tinggal 400-500 ekor di hutan-hutan Sumatra (Taman-taman nasional).

Dari ketiga spesies harimau yang pernah ada di Indonesia, hanya tinggal harimau Sumatra inilah satu-satunya spesies harimau yang tersisa. Saat ini harimau Sumatra berstatus kritis (IUCN Redlist) dan termasuk Appendiks I CITES. Di Indonesia satwa ini dilindungi dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman terbesar bagi pelestariannya adalah penghancuran habitat yang memicu peningkatan konflik dengan manusia.

Dengan adanya sistem perlindungan ini, semoga ke depannya, tidak ada lagi spesies-spesies yang mengalami kepunahan di Indonesia.

Sumber : Perlindungan Satwa dan Tumbuhan Liar dengan CITES | Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY (jogjaprov.go.id)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top