Pajak Pertambahan Nilai

Sumber: https://www.kompas.com/

Halo Sobat FOSCA! Kalian pernah dengar tentang Pajak Perambahan Nilai (PPN) ga sih? Kira – kira hal apa saja ya yang dikenakan tarif PPN? dan berapa ya kira kira tarif PPN? Untuk lebih lanjutnya, Yuk simak penjelasan berikut!

Definisi PPN

PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atau yang dalam bahasa Inggris disebut VAT (Value Added Tax) atau Goods and Services Tax (GST) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari suatu barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung yang artinya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Dasar hukum penerapan PPN di Indonesia terdapat pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 yang kemudian berikutnya berubah menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 1994, Undang-Undang No.18 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang No.42 Tahun 2009. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN sebesar 10 persen.

Objek PPN

Pajak
Gambar: pajaknesia.com

Barang dan jasa yang dikenakan pajak PPN disebut dengan objek PPN. Ada dua jenis objek PPN yaitu objek PPN secara umum dan objek PPN secara khusus. Berikut penjelasannya:

  1. Objek PPN secara umum diatur pada pasal 4(1) UU PPN 

Pada pasal tersebut tertera isinya sebagai berikut: 

  • Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha
  • Impor BKP
  • Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha
  • Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
  • Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dalam Daerah Pabean
  • Ekspor BKP Berwujud oleh PKP
  • Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP
  • Ekspor JKP oleh PKP
  1. Objek PPN secara khusus menurut Pasal 16C UU PPN mengatur terkait Kegiatan Membangun Sendiri

Kegiatan Membangun Sendiri adalah kegiatan usaha atau pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Tarif yang dikenakan pada bangunan yang dibangun sendiri adalah 10% x DPP (20% x jumlah biaya yang dikeluarkan) atau 2% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun bangunan. Bangunan yang dibahas sendiri mengandung beberapa kriteria sehingga harus dikenakan PPN. Berikut kriterianya:

  • Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata, atau bahan sejenis, dan/atau baja 
  • Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha
  • Luas keseluruhan paling sedikit 200m²
  1. Objek PPN secara khusus menurut Pasal 16D UU PPN mengatur terkait Penyerahan BKP berupa Aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjual-belikan. 

Non Objek PPN

Ada beberapa barang-barang yang tidak dikenakan PPN (Objek PPN) yang disebut sebagai Non Objek PPN. Berikut jenisnya:

  1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Barang tambangnya yaitu: minyak mentah, gas bumi, panas bumi, batuan, batu bara dan bijih.
  2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kebutuhan pokoknya yaitu: sayur-sayuran, beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, dan buah-buahan.
  3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga (catering).
  4. Uang, emas batangan, dan surat berharga. Dengan alasan efisiensi ekonomi tentunya uang sebagai alat tukar tidak dikenakan PPN. Emas batangan dan surat berharga adalah instrumen investasi yang tidak dikenakan PPN sehingga rakyat tidak segan untuk berinvestasi. 

Tarif PPN

Tarif PPN adalah sebesar 10% 

  1. Tarif Khusus 0% diterapkan atas ekspor Barang Kena Pajak (BKP) berwujud maupun tidak berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) 
  2. Tarif Pajak sebesar 10% dapat berubah menjadi lebih rendah, yaitu 5% dan paling tinggi sebesar 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah

Karakteristik PPN

Berbeda dengan jenis Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang bersifat progresif, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih bersifat Multi Stage Levy. Apa sifat Multi Stage Levy? Berikut penjelasannya:

  1. Merupakan Pajak Atas Konsumsi

PPN dibebankan pada konsumen atau orang yang membeli Barang kena Pajak, dan tidak untuk dijual kembali. Artinya, yang memiliki tanggung jawab membayar beban pajak ini adalah konsumen akhir.

  1.  Merupakan Pajak Tidak Langsung

Pajak ini dibebankan pada konsumen akhir BKP yang ada, sedangkan yang melakukan penyetoran pajak bukanlah konsumen akhir namun Anda, sebagai PKP yang menjual barang tersebut. Ini yang dimaksudkan dengan pajak tidak langsung, karena berbeda antara penyetor dan pembayarannya.

  1.  Merupakan Pajak Objektif

Pajak pertambahan nilai tidak melihat dari sisi subjek pajak, melainkan dari objek pajak. Setiap konsumen, yang juga wajib pajak dan subjek pajak, akan dikenai tarif PPN yang sama, sesuai dengan harga barang atau transaksi BKP dan JKP yang terjadi.

  1.  Penggunaan Tarif Tunggal

Berbeda dengan PPh 21 yang memiliki perhitungan progresif, dimana setiap batas penghasilan memiliki besaran pajak sendiri, Pajak Pertambahan Nilai memiliki tarif dasar tunggal yakni sebesar 10%. Setiap konsumen akhir yang membeli BKP untuk digunakan akan bertanggung jawab membayar pajak sebesar 10% dari nilai transaksi.

Pajak ini juga dikenakan untuk transaksi ekspor, hanya saja tarif yang dikenakan tidak sebesar 10% melainkan 0%. Pemerintah menerapkan tarif ini untuk merangsang pertumbuhan ekspor dan memberikan kemudahan untuk eksportir yang ada.

  1. PPN adalah Pajak Atas Konsumsi BKP/JKP di Dalam Negeri

Pajak ini hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan JKP di dalam negeri seperti misalnya transaksi impor. Impor barang oleh PKP dikenakan PPN, selain itu juga diterapkan pada pemanfaatan BKP dan JKP tidak berwujud diluar daerah kepabeanan yang dimanfaatkan di dalam negeri.

  1. Bersifat Multi Stage Levy

Pajak ini akan dikenakan atau dipungut pada setiap tahap jalur produksi dan distribusi, mulai dari pabrik, pedagang besar, grosir, hingga pedagang kecil atau pengecer. Meski PPN dikenakan pada setiap mata rantai produksi dan distribusi, pajak ini tidak akan menimbulkan efek pemungutan pajak ganda karena mekanismenya yang menganut pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan.

  1.  Indirect Subtraction Method

Mekanisme perhitungan Pajak Pertambahan Nilai menggunakan metode pengurangan secara tidak langsung, artinya Anda sebagai PKP dapat mengkreditkan pajak masukan atas BKP dan JKP yang berbeda.

Misalnya saja, pajak masukan dapat berasal dari pembelian barang kena pajak yang dilakukan PKP, sedangkan pajak keluaran dapat diperoleh dari penjualan jasa yang dilakukan oleh PKP. Hal ini memungkinkan seimbangnya perhitungan pajak masukan dan pajak keluaran.

Mekanisme Pemungutan PPN

  1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) wajib memungut PPN dari pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari harga jual atau penggantian dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya
  2. Apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Pemungut PPN (BUMN, kontraktor dan pemegang izin kontrak kerja sama, bendaharawan pemerintah, dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara), PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP Penjual, melainkan disetor langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN tersebut. Dengan demikian, Pemungut PPN hanya membayar kepada PKP penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor langsung ke kas negara
  3. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (hutang pajak)
  4. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan, yang sifatnya sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya
  5. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat di kompensasi ke masa pajak berikutnya. Restitusi hanya dapat diajukan pada akhir tahun buku
  6. Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) setiap bulan ke Kantor Pelayanan Pajak terkait paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak

UU HPP Membuat harga jadi melambung dan mahal?

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) secara bertahap mulai tahun depan, yaitu 11 persen. Kenaikan tarif PPN selanjutnya menjadi 12 persen dan dilakukan paling lambat pada 2025 mendatang.

Lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi bagian dari proses reformasi struktural untuk mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Penguatan sistem perpajakan akan memperkuat fungsi APBN dari sisi penerimaan terutama dalam pembangunan jangka panjang.

Pasalnya, pemerintah ingin kenaikan tarif PPN tetap diberlakukan secara adil dan memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak. Apabila hal ini terjadi, pemerintah meyakini penerimaan negara dari pajak pun akan lebih optimal.

Tarif PPN mengalami perubahan seturut pengesahan UU HPP. UU PPN sebelumnya mengatur besaran tarif PPN adalah 10 persen. Tarif ini akan tetap berlaku hingga Maret 2022. Adapun mulai 1 April 2022, merujuk pada UU HPP, akan berlaku tarif baru PPN yaitu 11 persen. Lalu, paling lambat mulai 1 Januari 2025, tarif PPN akan dinaikkan lagi menjadi 12 persen. UU HPP mengatur pula ruang bagi pengenaan tarif khusus PPN atas jenis barang atau jasa tertentu serta sektor usaha tertentu. Tarif khusus ini akan menggunakan ketentuan tarif final atas omzet, yang diatur dengan peraturan menteri keuangan.Tapi jangan khawatir, ternyata ada Pengecualian objek pajak pertambahan nilai (PPN) dan fasilitas PPN. 

UU HPP memberikan pengecualian objek PPN dan fasilitas PPN sebagai berikut: Pembebasan PPN diberikan untuk:

  • Barang kebutuhan pokok
  • Jasa kesehatan
  • Jasa pendidikan
  • Jasa pelayanan sosial
  • Dan beberapa jenis jasa lain.

Sumber:

FOSCA – Forum of Scientist Teenagers – 2021 (kirfosca.com)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top